KONSELING LINTAS BUDAYA
*agustiansyah
Tokoh pendidikan nasional bapak Ki Haiar Dewantara
(1977) memberikan definisi budaya sebagai berikut: Budaya berarti buah budi
manusia, adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yakni
alam dan jaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup
manusia untuk mengatasi berbagai bagal rintangan dan kesukaran didalam hidup
penghidupannya, guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya
bersifat tertib dan damai.
Pendapat Ki Hajar
Dewantara diperkuat oleh Soekanto (1997) dan Ahmadi
(1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu:
(1996) yang mengarahkan budaya dari bahasa sanskerta yaitu buddhayah yang merupakan suatu bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai hal hal yang bersangkutan dengan budi atau akal". Lebih ringkas, Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, mendefinisikan kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Dari definisi di atas, tampak bahwa suatu budaya tertentu akan mempengaruhi kehidupan masyarakat tertentu (walau bagaimanapun kecilnya). Dalam pengertian budaya, ada tiga elemen yaitu:
1. merupakan produk budidaya manusia,
2.
menentukan ciri
seseorang,
3.
manusia tidak
akan bisa dipisahkan dari budayanya.
PENGERTIAN KONSELING
Konseling merupakan suatu proses untuk membantu
individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangn dirinya,dan untuk mencapai
perkembangan yang optimal kemampuan pribadi yang dimilikinya ,proses tersebuat
dapat terjadi setiap waktu. (Division of Conseling Psychologi). Konseling
meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapkan
kebutuhan-kebutuhan, motivasi, dan potensi-potensi yang yang unik dari individu
dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasikan ketiga hal
tersebut. (Berdnard & Fullmer ,1969) Dalam pengertian konseling terdapat
empat elemen pokok yaitu:
1.
adanya hubungan,
2.
adanya dua individu atau lebih,
3.
adanya proses,
4.
membantu individu dalam memecahkan masalah dan membuat keputusan.
KONSEP KONSELING LINTAS BUDAYA
Isu-isu tentang antar atau lintas budaya yang disebut
juga multibudaya meningkat dalam dekade 1960-an, yang selanjutnya melatari
kesadaran bangsa Amerika pada dekade 1980-an. Namun, rupanya kesadaran itu
disertai dengan kemunculan kembali sikap-sikap rasialis yang memecahbelah
secara meningkat pula (Hansen, L. S., 1997:41). Hal ini menjelaskan pandangan,
bahwa dibutuhkan pendekatan baru untuk kehidupan pada abad-21, baik yang
melingkup pendidikan bagi orang biasa maupunprofesional dalam bidang lintas
serta keragaman budaya.
Pendidikan yang dimaksud hendaknya menegaskan
dimensi-dimensi keragaman dan perbedaan. Dengan kata lain, kecenderungan
pendidikan yang berwawasan lintas budaya sangat dibutuhkan dalam kehidupan
manusia abad-21.
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan
lintas budaya dipandang sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan
psikodinamik, behavioral dan humanistik (Paul Pedersen, 1991). Suatu masalah
yang berkaitan dengan lintas budaya adalah bahwa orang mengartikannya secara
berlain-lainan atau berbeda, yang mempersulit untuk mengetahui maknanya secara
pasti atau benar. Dapat dinyatakan, bahwa konseling lintas budaya telah
diartikan secara beragam dan berbeda-beda; sebagaimana keragaman dan perbedaan
budaya yang memberi artinya.
Definisi-definisi awal tentang lintas budaya cenderung
untuk menekankan pada ras, etnisitas, dan sebagainya; sedangkan para teoretisi
mutakhir cenderung untuk mendefinisikan lintas budaya terbatas pada
variabel-variabelnya (Sue dan Sue, 1990). Namun, argumen-argumen yang lain
menyatakan, bahwa lintas budaya harus melingkupi pula seluruh bidang dari
kelompok-kelompok yang tertindas, bukan hanya orang kulit berwarna,
dikarenakan yang tertindas itu dapat berupa gender, kelas, agama,
keterbelakangan, bahasa, orientasi seksual, dan usia (Trickett, Watts, dan
Birman, 1994).
Para ahli dan praktisi lintas budaya pun berbeda paham
dalam menggunakan pendekatan universal atau etik, yang menekankan inklusivitas,
komonalitas atau keuniversalan kelompok-kelompok; atau pendekatan emik
(kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik khas dari
populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka.
Namun, Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa
pendekatan inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan
pendekatan emik; dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan
karakteristik-karakteristik, nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja
dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.
dengan populasi spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan.
Tampaknya konsep konseling lintas budaya yang
melingkupi dua pendekatan tersebut dapat dipadukan sebagai berikut. Konseling
lintas budaya adalah pelbagai hubungan konseling yang melibatkan para peserta
yang berbeda etnik atau kelompok-kelompok minoritas; atau hubungan konseling
yang melibatkan konselor dan klien yang secara rasial dan etnik sama, tetapi
memiliki perbedaan budaya yang dikarenakan variabelvariabel lain seperti seks,
orientasi seksual, faktor sosio-ekonomik, dan usia (Atkinson, Morten, dan
Sue, 1989:37).
Konseling lintas budaya melibatkan konselor dan klien
yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan karena itu proses
konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor
yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Agar berjalan efektif,
maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari
bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan
memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif secarakultural. Dengan
demikian, maka konseling dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural
encounter) antara konselor dan klien (Dedi Supriadi, 2001:6).
Maka konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika
antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. Kita tahu bahwa antara konselor
dan klien pasti mempunyai perbedaan budaya yang sangat mendasar. Perbedaan
budaya itu bisa mengenai nilai-nilai, keyakinan, perilaku dan lain sebagainya.
Perbedaan ini muncul karena antara konselor dan klien berasal dari budaya yang
berbeda. Konseling lintas budaya akan dapat terjadi jika konselor kulit putih
memberikan layanan konseling kepada klien kulit hitam atau konselor orang Batak
memberikan layanan konseling pada klien yang berasal dari Ambon.
Layanan konseling lintas budaya tidak saja terjadi,
pada mereka yang berasal dari dua suku bangsa yang berbeda. Tetapi layanan
konseling lintas dapat pula muncul pada suatu suku bangsa yang sama. Sebagai
contoh, konselor yang berasal dari jawa Timur memberikan layanan konseling pada
klien yang berasal dari jawa tengah, mereka sama sama berasal dari suku atau
etnis jawa. Tetapi perlu kita ingat, ada perbedaan mendasar antara orang jawa
Timur dengan orang Jawa Tengah. Mungkin orang Jawa Timur lebih terlihat
"kasar", sedangkan orang jawa Tengah lebih "halus".
Konselor perlu menyadari akan nilai-nilai yang berlaku
secara umum. Kesadaran akan nilai-nilai yang berlaku bagi dirinya dan
masyarakat pada umumnya akan membuat konselor mempunyai pandangan yang sama
tentang sesuatu hal. Persamaan pandangan atau persepsi ini merupakan langkah
awal bagi konselor untuk melaksanakan konseling. Sebagai rangkuman dari apa
yang telah dijelaskan di atas, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam kaitannya dengan konseling lintas budaya. Menurut Pedersen (1980)
dinyatakan bahwa konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu:
1.
konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien;
2.
konselor danklien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukan konseling dalamlatar belakang budaya (tempat) konselor; dan
3.
konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
melakukankonseling di tempat yang berbeda pula.
Lebih lanjut, menurut Pedersesn, Lonner dan Draguns
(dalam Carter, 1991) dinyatakan bahwa beberapa aspek dalam konseling lintas
budaya adalah:
1.
latar belakang budaya yang dimiliki oleh konselor,
2.
latar belakang budaya yang diimiliki oleh klien,
3.
asumsi-asumsi terhadap masalah yang akan dihadapi selama konseling, dan
4.
nilai-nilai yang mempengaruhi hubungan konseling, yaitu adanya kesempatan
dan hambatan yang berlatar belakang tempat di mana konseling itu dilaksanakan.
5.
Nah, dari uraian diatas, ada beberapa hal yang perlu dipahami, yaitu:
6.
Memahami nilai nilai pribadi serta asumsinya tentang perilaku manusia dan
mengenali bahwa tiap manusia berbeda.
7.
Sadar bahwa tidak ada teori yang netral secara politik don moral
8.
Memahami bahwa kekuatan susio-politik akan mempengaruhi dan menajamkan
perbedaan budaya dalam kelompok
9.
Dapat berbagi pandangannya tentang dunia klien dan tidak tertutup
10. Jujur dalam konseling
eklektik, mempergunakan keterampilannya daripada kepentingan mereka untuk
membedakan pengalaman dan gaya hidup mereka.
sumber: Konseling Indonesia